JAKARTA, KOMPAS.com--Alat musik angklung segera dikukuhkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia asli Indonesia pada 18 November 2010 mendatang di Nairobi, Kenya.
"Pada 18 November 2010 nanti, angklung akan diresmikan menjadi warisan budaya dunia," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar), Wardiyatmo, di Jakarta, Selasa.
Pengukuhan tersebut akan dilakukan di Nairobi, Kenya, dalam sidang UNESCO, Kamis, 18 November 2010.
Pihaknya telah mengirimkan duta yang dipimpin Direktur Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film (NBSF) Kemenbudpar untuk menyaksikan langsung pengukuhan angklung sebagai warisan budaya dunia. "Ke depan, kita targetkan warisan dunia milik Indonesia yang diakui UNESCO akan semakin banyak," katanya.
Pengukuhan angklung oleh badan PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya (UNESCO) sebagai warisan budaya dunia asli Indonesia itu berarti akan menyusul batik, wayang, dan keris yang sebelumnya telah lebih dahulu dikukuhkan.
Ia mengatakan, pihaknya telah mengupayakan berbagai hal untuk dapat mencatatkan angklung sebagai warisan budaya dunia.
Perjuangan tersebut telah dilakukan sejak beberapa tahun lalu hingga akhirnya angklung akan segera diakui masuk dalam "Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity".
Pihaknya mencatat warisan dunia sampai saat ini sudah sebanyak 890 situs dengan 689 berupa warisan budaya, 176 warisan alam, dan 25 campuran antara warisan budaya dan warisan alam. "Di antara jumlah itu, warisan dunia yang dimiliki Indonesia sudah sebanyak 11 buah," katanya.
Dari 11 warisan dunia yang dimiliki Indonesia sebanyak 4 di antaranya berupa alam, 3 cagar budaya, dan 4 karya budaya takbenda.
Untuk warisan dunia berupa alam terdiri dari Taman Nasional Ujung Kulon, Banten, Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, Taman Nasional Lorentz, Papua, dan hutan tropis Sumatera (Taman Nasional Gunung Leuser, Kerinci Seblat, dan Bukit Barisan).
Sementara untuk cagar alam yakni Kompleks Candi Borobudur yang diakui UNESCO sejak 1991, Kompleks Candi Prambanan (1991), dan situs prasejarah Sangiran.
Karya budaya takbenda milik Indonesia yang sudah dan akan diakui UNESCO yakni wayang (masterpiece of the oral and intangible heritage of humanity, 2003), keris (masterpiece of the oral and intangible heritage of humanity, 2005), batik (representatif list of the intangible cultural heritage of humanity, 2009), dan angklung (representative list of the intangible cultural heritage of humanity, 18 November 2010).
Orang Baduy di Kanekes , Banten Selatan, mempergunakan angklung sebagai alat musik upacara pada waktu menjelang menanam padi di ladang, sebutannya Angklung Buhun. Angklung Gubrag di kampong Jati, Serang, dianggap alat musik sacral, untuk mengiringi mantera pengobatan orang sakit atau menolak wabah.
Seperti halnya di Kanekes, di sekitar Kulon Progo terdapat angklung yang digunakan dalam upacara Bersih Desa, permulaan musim menggarap sawah, disebut Angklung Krumpyung. Demikian pula di desa Ringin Anca dan Karangpatian, Ponorogo, upaca Bersih Desa biasa diiringi Orkes Angklung.
Menurut keterangan, dahulu di beberapa tempat di Kalimantan Barat terdapat angklung, yang contohnya tersimpan dalam Museum Insdisch Institut di Negeri Belanda, tercatat dalam katalogus No. 1297/1-2 dan 1767/1-3.
Di Kalimanatan Selatan sekarang masih terdapat angklung tradisional yang dikenal dengan sebutan Kurung-kurung, biasanya digunakan untuk mengiringi pertunjukan Kuda Gepang (Sie) yang bentuk dan cara pertunjukannya hampir sama dengan Kuda Kepang di Jawa Tengah.
Di Lampung pada masa-masa yang lalu terdapat pula angklung tradisional, yang contohnya dipamerkadi Museum Leidan, Negeri Belanda dengan katalogus No. 40/58. Namun sekrang sulit untuk mendapatkan keterangan mengenai angklung tradisional di wilayah tersebut, kecuali yang dikembangkan oleh beberapa kelompok transmigran dari Jawa.
Hal itu dinyatakan oleh beberapa pengamat Belanda, antara lain seorang dengan initial G.J.N., dalam zaman INDIE tahun pertama, No. 21, 22 Agustus 1917 hal.330 tentang angklung di Priangan, dengan tegas mengatakan : “En geen wonder : de angkloeng is militaire muziek” (“dan tidak mengherankan: angklung memang musik militer”).
Demikian seorang dengan naman samaran “Bianca” dalam majalah de ORIENT No. 52, 24 Desember 1938, tentang angklung sunda antara lain menulis; Over het algemeen draagt angkloeng muziek een opwekkend en vroolijk karakter, maar het heft ook zijn krijgslystige en mystiekezijde (“pada umumnya musik angklung menggairahkan dan menggembirakan, tetapi juga dapat menimbulakan semangat perjuangan dan mistik”).
Demikianlah pengaruh musik angklung pada pendukungnya di Priangan pada masa lalu. Maka tidak mengherankan bila pada pertengahan abad ke XIX, ketika di Pasundan sedang giat-giatnya dilaksanakan apa yang disebut “Cultuurstelsel” atau peraturan tanam paksa oleh pemerintah Hindia Belanda diadakan larangan terhadap permainan angklung.
Alasan larangan itu, karena menurut pengamatan beberapa pembesar Belanda Kolonial, permainan angklung berpengaruh terhadap semangat perlawanan rakyat atas kekuasaan pemerintah jajahan dalam larangan itu dikecualikan permainan angklung anak-anak dan pengemis, mungkin karena dianggap tidak menimbulakan keresahan dan tidak membahayakan bagi ketentraman pemerintah jajahan Belanda.
Sejak itulah angklung turun derajatnya dari alat musik militer dan alat musik upacara yang dianggap sakral, Setelah larangan dicabut, yaitu sejak dihapusnya sistem tanam paksa, angklung tidak banyak lagi pengaruhnya bagi penduduk, kecuali sebagai alat musik dalam berbagai pertunjukan rakyat seperti reog atau ogel.
Sejak tahun 1938 Daeng Soetigna dengan tekun mengadakan eksperimen-eksperimen agar angklung yang diketahui sebagai salah satu unsur seni budaya bangsanya dan merupakan warisan yang pantas dipupuk dan dikembangkan, mendapat tempat yang layak di kalangan masyarakat luas. Setelah lama dipelajari dari berbagai segi, Pak Daeng sampai pada kesimpulan, bahwa angklung dapat cepat popular harus disesuaikan dengan selera generasi muda, yaitu diubah tangga nadanya dari pentatonis menjadi diatonis. Setelah mengalami berbagai hambatan dan kegagalan, akhirnya usaha inovator itu berhasil dengan memuaskan.
Angklung kembali mendapat tempat yang layak di masyarakat. Bahkan mendapat reputasi internasional, sebagaimana terbukti dari pernyataan seorang musikus besar Australia IGOR HMEL NITSKY pada tahun 1955, sebagai berikut :
“It is with pride and admiration that take this opportunity of placing on paper my surprise delight that Daeng Soetigna has found such a practical and fasginating method af teaching the youth of Indonesia how to a appreciate and play their own historic instrument, the angklung. His original idea of enabling young children to read and understand that tonal structure by visual and practical demonstration, is to say the least, wonderful. This extraordinarily talented young teacher has also found a way in which to use is national idion to bring European music to the people of his country. The great value in giving the players the rare combination of pleasure and discipline-i.e. good teamwork which would give a unique satisfaction both to performers and audience. I doubt whether Australia is the ideal place in which he should study further, and feel that his development would be best nurtured by study and research in European contries, and I sincerely hope that he will have the opportunity of so doing, and thus be in the position to further enrich his countrymen in this practical, educational, cultural and national interest”
Dengan kreasi Pak Daeng itu ternyata kemudian, bahwa angklung dapat dijadikan sarana pendidikan untuk mempertebal jiwa gotong royong, kerjasama, disiplin, kecermatan, ketangkasan, tanggungjawab dan sebagainya, disamping pemupu rasa musikalis.
Berdasarkan hal-hal itulah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan memandang perlu untuk menetapkannya sebagai alat pendidikan musik di sekolah, dengan Surat Keputusan tertanggal 23 Agustus 1968, No.082/1968 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah memutuskan:
1. Menetapkan angklung sebagai alat pendidikan musik dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
2. Menugaskan Direktur Jenderal Kebudayaan untuk mengusahakan agar angklung dapat ditetapkan sebagai alat pendidikan musik tidak hanya dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Demikian, angklung seolah-olah melambangkan pasang surutnya sejarah bangsa Indonesia. Ketika bangsa Indonesia berada dalam telapak kaki penjajah, angklung hanya menjadi alat musik pengemis. Dengan dicapainya kemerdekaan, kembali angklung menjadi alat musik yang dibanggakan.